Minggu, 28 Agustus 2011

ARAH KEBIJAKAN PENANAMAN MODAL ASING DI INDONESIA



 

BAB I
PENDAHULUAN



A. Latar Belakang
Penanaman modal asing menurut UU No.25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. Penanaman modal ini bertujuan antara lain untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional; menciptakan lapangan kerja; meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional; mendorong perkembangan ekonomi kerakyatan; mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam maupun dari luar negeri; dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pada umumnya, negara berkembang meyakini penanaman modal sebagai suatu keniscayaan karena penanaman modal merupakan salah satu motor penggerak roda ekonomi agar suatu negara dapat mendorong perkembangan ekonominya selaras dengan tuntutan perkembangan masyarakatnya. Setiap negara selalu berusaha meningkatkan pembangunan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Usaha tersebut dilakukan dengan berbagai cara yang berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Salah satu usaha yang selalu dilakukan oleh negara adalah menarik sebanyak mungkin investasi asing masuk ke negaranya.
Alasan pertama suatu negara membuka diri terhadap penanaman modal asing, termasuk Indonesia, adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi (economic growth), guna memperluas lapangan kerja. Baru kemudian, dengan masuknya modal asing tujuan-tujuan lain ingin dicapai seperti mengembangkan industri substitusi import untuk menghemat devisa, mendorong ekspor non-migas untuk meningkatkan devisa, alih teknologi, membangun prasarana, dan mengembangkan daerah tertinggal.[1] Dari sudut pandang ini jelas bahwa pelaksanaan penanaman modal asing merupakan suatu keniscayaan bagi negara berkembang seperti Indonesia dan memiliki tujuan yang mulia dalam kehidupan bernegara sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Masalah modal asing di Indonesia sudah sejak awal kemerdekaan menjadi bagian dari pemikiran aktual program ekonomi Indonesia. Ini berkaitan dengan konsep perubahan ekonomi dari ekonomi kolonial ke ekonomi nasional. Secara esensial konsep ekonomi nasional salah satu dimensinya adalah sebuah perekonomian dimana pemilikan, pengawasan, dan pengelolaan di bidang ekonomi berada di tangan golongan pribumi. Hal ini berarti ada pandangan dan usaha untuk mengalihkan struktur perekonomian kolonial menjadi perekonomian nasional.[2]
Perekonomian global menuntut adanya sikap keterbukaan Indonesia terhadap modal asing dalam pembangunan ekonomi nasional, karena Investasi bagi suatu negara merupakan suatu keharusan atau keniscayaan. Investasi adalah merupakan salah satu motor penggerak roda ekonomi agar suatu negara dapat mendorong perkembangan ekonominya selaras dengan tuntutan perkembangan masyarakatnya. Di sisi lain, kepentingan dan kedaulatan ekonomi nasional harus menjadi tumpuan utama dalam setiap kebijakan di bidang perekonomian. Untuk menemukan jalan keluar atas polemik ini, kebijakan penanaman modal asing di Indonesia tentunya harus dikembalikan kepada hukum dasar (grundnorm) perekonomian nasional sebagaimana digariskan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang didalamnya terdapat cita-cita bangsa yakni kebebasan untuk hidup mandiri membangun masyarakat adil dan makmur di atas tanah tumpah darah yang kaya akan berbgai sumber alam untuk bergerak bebas didunia atas dasar persamaan drajat dan mewujudkan satu dunia yang damai.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah:
1.       apakah yang menjadi dasar kegiatan penanaman modal di Indonesia?
2.       bagaimanakah arah kebijakan penanaman modal asing di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan pada masa orde lama, orde baru dan reformasi?
  
BAB II
PEMBAHASAN



A. Dasar Kebijakan Penanaman Modal Asing di Indonesia.
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 karena didorong oleh cita-cita untuk dapat terlepas dari ketergantungan pada bangsa lain yang telah menguasai, memeras dan segala kekayaan alam yang ada di Indonesia. Cita-cita tersebut tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alenia 4 yang menyatakan sebagai berikut.
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu
susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatam yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
Dari alenia 4 pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 diatas, terkandung cita-cita bangsa yaitu:
1.      Keinginan bangsa Indonesia untuk hidup bebas;
2.      Keinginan untuk merdeka;
3.      Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia;
4.      Memajukan kesejahteraan umum;
5.      Mencerdaskan kehidupan bangsa;
6.      Ikut melasanakan perdamaian dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamain abadi dan keadilan sosial.[3]
Agar cita-cita bangsa diatas dapat terwujud perlu adanya sebuah pembangunan secara menyeluruh dalam semua sektor. Pembangunan menyeluruh tersebut merupakan pembangunan nasional yang merupakan suatu proses perubahan yang dilakukan berdasarkan rencana tertentu dengan sengaja dan memang dikehendaki baik oleh pemerintah yang menjadi pelopor pembangunan maupun oleh masyarakat. Pembangunan nasional tersebut mencakup aspek ekonomi, politik, demografi, psikologi, hukum, intelektual maupun teknologi termasuk industri.
Kesejahteraan sosial masyarakat sangat dipengaruhi oleh kemampuan ekonomi, untuk meningkatkan pendapatan secara adil dan merata. Guna mempercepat pembangunan ekonomi kearah stabilitas dan pertumbuhan ekonomi diperlukan permodalan terutama permodalan yang berasal dari proyek-proyek produktif dalam bentuk investasi dengan memanfaatkan pemupukan dan pemanfaatan modal dalam negeri dan modal yang berasal dari luar negeri secara maksimal.
Sebagai tempat untuk melakukan  investasi Indonesia memiliki potensi yang sangat besar antara lain:
1.      Wilayah yang luas dan subur dengan kekayaan alam yang melimpah;
2.      Upah buruh yang relatif rendah;
3.      Jumlah penduduk yang besar merupakan pasar yang sangat besar bagi produk-produk hasil produksi;
4.      Lokasi yang strategis;
5.      Adanya kepentingan untuk mendorong iklim investasi yang sehat;
6.      Tidak ada pembatasan untuk arus devisa;dan lain-lain.[4]
Atas dasar potensi-potensi yang di miliki Indonesia tersebut, untuk meningkatkan jumlah investror yang masuk ke Indonesia guna meningkatkan pembangunan ekonomi, pemerintah dalam pasal 4 Undang-Undang no 25 Tahun 2007 (UUPM) Pemerintah menetapkan kebijakan dasar penanaman modal untuk:
1.      Mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi penanaman modal untuk penguatan daya saing perekonomian nasional; dan
2.      Mempercepat peningkatan penanaman modal
Sesuai dengan kebijakan dasar yang ditetapkan oleh pemerintah tersebut, pemerintah melakukan perlakuan yang sama kepada penanam modal, yaitu bahwa pemerintah tidak melakukan pembedaan terhadap penanam modal yang telah menanamkan modalnya di Indonesia kecuali ditentukan lain oleh ketentuan undang-undang. Menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha dan keamanan berusaha bagi penanam modal sejak pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta membuka kesempatan bagi berkembangnya usaha mikro, menengah, kecil dan koperasi.

B. Arah Kebijakan Penanaman Modal Asing di Indonesia.

Sebuah kebijakan harus memiliki dasar filosofi dan hukum yang kuat dan jelas. Kebijakan ibarat sinar pembawa cahaya kemana arah yang harus dituju dan sekaligus ibarat jalan yang harus dilalui, bagaimana cara  melaluinya serta aturan apa yang harus diikuti agar dapat sampai ke tujuan dengan selamat dalam melakukan suatu investasi di suatu negara. Sebenarnya dalam masalah pengembangan kebijakan hukum investasi dikenal adanya dua kelompok besar teori yang berkembang seiring dengan kebutuhan dan kepentingan dari masing-masing pihak yang berbeda, khususnya dalam kaitannya dengan investasi asing langsung (foreign direct investment) yaitu pihak negara penerima investasi (host country) dan pihak para investor yang biasanya diwakili oleh perusahaan transnasional/transnational  corporation (TNC) atau multi national corporations (MNCs).
Secara teoritis, paling tidak terdapat tiga varian pemikiran dalam memahami kebijakan penanaman modal yang dapat dipilih untuk menjadi dasar pertimbangan/pijakan kebijakan hukum investasi dari sisi kepentingan host country. Varian-varian tersebut adalah: Pertama, yang mewakili kelompok Neo Classical Economic Theory yang sangat ramah dan menerima dengan tangan terbuka terhadap masuknya investasi asing, karena investasi asing dianggap sangat bermanfaat bagi host country. Kedua, yang mewakili kelompok Dependency Theory yang secara diametral menolak masuknya investasi asing dan menganggap masuknya investasi asing dapat mematikan investasi domestik serta mengambil alih posisi dan peran investasi domestik dalam perekonomian nasional. Investasi asing juga dianggap banyak menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat baik terhadap pelanggaran HAM ataupun lingkungan. Ketiga, pandangan yang mewakili kelompok “jalan tengah” (the middle path theory) yang memandang investasi asing selain bermanfaat (positif) juga menimbulkan dampak (negatif). Karena itu negara harus berperan untuk dapat mengurangi dampak negatif melalui berbagai kebijakan hukum yang ditetapkan antara lain melalui penapisan (screening) dalam perizinan dan upaya sungguh-sungguh dalam penegakan hukum.[5]
1.      Arah Kebijakan Penanaman Modal Asing Pada Masa Orde Lama
Konfrensi meja bundar tahun 1949 membuka jalan bagi Indonesia untuk menghidupkan kembali investasi asing yang sempat mati selama perang dunia II, sesuai dengan perjanjian tersebut Indonesia diwajibkan untuk:
a.       Menjamin berlangsungnya iklim investasi di indonesia seperti sebelum tahun 1942, termasuk pengakuan dan pemulihan hak-hak investor asing.
b.      Dalam hal kepentingan nasional Indonesia menghendaki tindakan nasionalisasi, maka tindakan teresbut harus dilakukan dengan pemberian ganti rugi yang layak.
c.       Diperbolehkan adanya investasi baru di Indonesia.[6]
Pada tahun 1950 dilakukan evaluasi terhadap peranan inveestasi terhadap perkembangan perekonomian bangsa, dan hasil evaluasi tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Peranan penanaman modal asing selama ini tidak mampu meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia yang pada saat itu pendapatan perkapitanyahanya mencapai US$ 50 dengan tingkat buta huruf 90%.
2.      Modal asing hanya menimbulkan distorsi terhadap perekonomian Indonesia.
3.      Penanaman modal selama ini terlalu membatasi pengusaha Indonesia pada industri kecil dan kerajinan saja.
4.      Modal asing selama ini mengecualikan bangsa Indonesia dari kegiatan bisnis di bidang perdagangan, keuangan dan pengangkutan.ibid
Hasil evaluasi tersebut menimbulkan mosi di DPR yang menginginkan penghapusan kewajiban-kewajiban Indonesia di bidang penanaman modal asing sebagaimana yang ditetapkan perjanjian meja bundar 1949, meskipun mosi tersebut dapat diatasi tapi sikap anti pati terhadap penanaman modal asing makin kental. Oleh karena itu pada Kabinet Sukiman 1951 kebijakan antin modal asing dterapkan, yaitu dengan mengimbangi modal asing dengan modal dalam negeri yang disponsori oleh negara, memperluas hak eklusif para pribumi dalam melakukan impor untuk barang tertentu dan memberlakukan hak-hak eklusif lainnya kepada pribumi secara diskriminatif. Kebijakan tersebut mengalami kegagalan dimana kebijakan tersebut tidak dapat mengangkat kaum pribumi secara keseluruhan tetapi hanya menguntungkan sebagian masyarakat karena praktik korupsi dan nepotisme.
Presiden pertama sekaligus Proklamator kemerdekaan Republik Indonesia, Ir. Soekarno, secara tegas menyatakan perlawanan terhadap imperialisme dan di sisi lain memperkuat kemandirian ekonomi nasional. Soekarno mendeklarasikan poros kekuatan ekonomi baru yakni gerakan Banteng. Program ini memiliki tujuan utama untuk membangkitkan industri nasional terutama yang berbasiskan kepemilikan pribumi dan menempatkan sektor ekonomi yang vital, seperti perdagangan dan impor dibawah pengendalian negara. Soekarno menganut paham anti-imperialisme dengan ajarannya yang sangat populer, ajaran Trisakti, yaitu: berdaulat dalam politik, berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) dalam ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya. Alasan soekarno untuk faham ini sangatlah logis, Soekarno menginginkan modal asing masuk ke Indonesia setelah indonesia memiliki SDM dan kemandirian sehingga Indonesia tidak dikendalikan oleh pihak asing.[7]
Dr. Mohammad Hatta, tokoh proklamasi kemerdekaan sekaligus perumus Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan grundnorm arah pembangunan ekonomi nasional, dalam salah satu tulisannya menyatakan:
“Soal kapital menjadi halangan besar untuk memajukan industrialisasi di Indonesia. Rakyat sendiri tidak mempunyai kapital. Kalau industrialisasi mau berarti sebagai jalan untuk mencapai kemakmuran untuk rakyat (frasa “kemakmuran untuk rakyat” digarsibawahi sendiri oleh Hatta) mestilah kapitalnya datang dari pihak rakyat atau pihak pemerintah. Karena, kalau kapital harus didatangkan dari luar, tampuk produksi terpegang oleh orang luaran. Pedoman bagi mereka artinya bagi penanam modal asing untuk melekatkan kapital mereka di Indonesia ialah keuntungan. Keuntungan yang diharapkannya mestilah lebih dari yang biasa, barulah berani mereka melekatkan kapitalnya itu. Supaya keuntungan itu dapat tertanggung, maka dikehendakinya supaya dipilih macam industri yang bakal diadakan, dan jumlahnya tidak boleh banyak. Berhubung dengan keadaan industri, agraria, dan tambang yang paling menarik hati kaum kapitalis asing itu. Dan dengan jalan itu tidak tercapai industrialisasi bagi Indonesia, melainkan hanya mengadakan pabrik-pabrik baru menurut keperluan kapitalis luar negeri itu saja. Sebab itu, industrialisasi dengan kapital asing tidak dapat diharapkan.”[8]
Banyak recana program pembangunan yang diajukan pemerintah sebagai upaya untuk memajukan perekonomian nasional diantaranya adalah Rencana Urgensi Perekonomian (RUP) yakni suatu rencana yang dimaksudkan sebagai suatu bagian integral dari kebijaksanaan umum dibidang perekonomian dimaksudkan pula untuk membimbing berbagai kegiatan pemerintahan dalam sektor industri dan sektor pertanian serta memungkinkan pemerintah mengawasi pembentukan perusahaan-perusahaan baru. Rencana ini merupakan suatu usaha untuk mengurangi ketergantungan bangsa kepada kepentingan ekonomi asing. Rencana Urgensi Perekonomian tersebut merupakan program yang menginginkan pendekatan secara pragmatis yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan ganda, yaitu untuk meningkatkan industri kecil dan para pengusaha pribumi, pemerintah memberikan izin akan adanya penanaman modal asing guna memainkan peranan yang lebih aktif dalam industri-industri yang tidak begitu penting asalkan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah yakni 51% dimiliki oleh orang Indonesia dan pembatasan pada bidang-bidang tertentu dan disediakan untuk pemilikan domestik. Namun pada kenyataannya progran tersebut tidak berjalan secara efektif terbukti dengan tidak adanya penanaman modal asing yang masuk.[9]
Pada tahun 1953 pemerintah menyusun suatu Ranacangan Undang-Undang Penanaman Modal Asing yang mengalami beberapakali penyempurnaan dan disetujui oleh kabinet pada tahun 1956. Undang-Undang tersebut menjadi dasar suatu badan yang mengurus keperluan penanam modal asing yakni Badan Penanam Modal Asing(BPMA).Undang-Undang tersebut tidak banyak memberikan kemudahan bahkan terkesan memusuhi penanam modal asing dengan membatasi para penanam modal asing untuk bergerak pada beberapa bidang usaha tertentu termasuk jasa pelayanan umum, beberapa bidang pertambangan serta beberapa perusahaan yang biasanya dijalankan oleh orang Indonesia.[10] Meskipun Undang Undang tersebut tidak menyebutkan secara jelas pencegahan pemilikan mayoritas oleh pihak asing tetapi dengan jelas Undang-Undang tersebut menyebutkan bahwa usaha patungan akan diprioritaskan. Belum genap dua tahun setelah diberlakukan prospek masuknya penanam modal asing dengan dibentuknua UU tersebut menjadi sirna akibat Nasionalisasi yang dilakukan pemerintah terhadap perusahaan-perusahaan Belanda pada bulan Desember 1957.
Pada tahun 1958 ditetapkan Undang-Undang di bidang penanaman modal guna mengundang partisipasi modal asing dalam mempercepat akselerasi pembangunan. Dalam Undang-Undang tersebut ditawarkan intensif bagi investor, yaitu:
1.      Pengurangan pajak impor;
2.      Pengecualian atas pajak materai (stamp duties);
3.      Pencegahan pajak berganda;
4.      Penjaminan terhadap pengalihan keuntungan dan modal;
5.      Diberikannya hak-hak atas tanah kepada pihak asing; dan
6.      Jaminan tidak akan dilakukannya nasionalisasi selama jangka waktu 20-30 tahun.
Sementara kewajiban yang ditetapkan kepada investor asing hanya berupa kewajiban mendidik dan memperkerjakan tenaga lokal serta sedikit mungkin menggunakan tenaga asing.
Meskipun demikian tindakan nasionalisasi tetap dilakukan terhadap aset-aset Belanda dengan didasarkan atas Undang-Unddang Nasionalisasi tahun 1959 yang bertentangan dengan Undang-Undang Penanaman Modal tahun 1958. Menyusul kemudian pemerintah melakukan nasionalisasi terhadap modal asing milik malaysia dan Inggris pada tahun 1963 saat terjadi konfrontasi dengan Indonesia. Terakhir pada tahun 1965 kembali pemerintah melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan asing milik Amerika Serikat. Nasionalisasi tersebut mengakibatkan kerugian pada pihak asing yang berakibat pada merosotnya perokmonomian nasional sehingga kemiskinan merajalela sehingga menciptakan situasi kondusif bagi kaum komunis yang mengambil alih pemerintah dengan G30S PKI yang akhirnya ditumpas dan melahirkan rezim orde baru.

2.      Arah Kebijakan Penanaman Modal Asing Masa Orde Baru
Pada tanggal 11 Maret 1966 terjadi peralihan kekuasaan dari rezim orde lama kepada rezim orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto selaku pengemban surat perintah sebelas maret yang mewarisi  keadaan politik dan ekonomi yang hampir ambruk dari pemerintahan sebelumnya. Langkah pertama yang dilakukan oleh pemerintahan soeharto adalah dengan menggunakan pendekatan pragmatis sebagai konsep utamanya dalam melakukan perbaikan keadaan ekonomi yakni dengan mengatur kembali jadwal pelunasan hutang luar negeri yang jumlahnya mencapai US$ 2.400 juta, kemudian menciptakan mekanisme untuk menanggulangi inflasi, merehabilitasi infrastruktur, mendorong pertumbuhan ekonomi, memperbaiki hubungan dengan luar negeri dalam rangka mencari bantuan pinjaman maupun penanaman modal asing[11].
Pada tanggal 1 Januari 1967 diberlakukan Undang-Undang Penanaman Modal Asing dan pada tanggal 11 Maret 1967 Soeharto diangkat menjadi presiden Republik Indonesia menggantikan Soekarno. Tanggapan luar negeri atas kedua hal tersebut sangat positif sehingga sejak saat itu angka penanaman modal asing yang masuk ke Indonesia secara konsisten menunjukan kenaikan. Namun sampai dengan lima tahun pertama  diberlakukannya UU Penanaman Modal Asing tahun 1967 kegiatan penanaman modal asing hanya bertumpu pada dua bidang industri, yaitu industri skunder yang terdiri dari barang-barang kebutuhan rumah tangga serta produk pengganti impor dan industri yang berbasis sumber daya alam seperti minyak, pertambangan dan kehutanan. Soeharto dengan pola pikir yang strategis-realis melihat pemikiran pendahulunya tidak sesuai dengan kondisi nyata rakyat yang melarat. Soeharto memilih bekerja sama dengan kaum teknokrat yang berorientasi kapitalistis. Lantas ia meminta bantuan keuangan kepada negara-negara yang dalam pandangan Soekarno imperialis-kolonialis baru. Slogan baru pada era Soeharto adalah pembangunan lepas landas. Modal asing pun mengalir deras dengan nyaman pada era Soeharto. Perbaikan ekonomi berlangsung, meskipun eksploitatif dan memberikan keuntungan luar biasa kepada sejumlah kroninya. Kelas menengah baru tumbuh dan berkembang pada awal era ini seiring dengan tampilnya konglomerasi yang dekat dengan Istana.[12] Strategi  yang diterapkan oleh Undang-Undang penanaman modal asing  tahun 1967 dalam menarik investasi asing adalah dengan menawarkan berbagai bentuk insentif dan fasilitas serta jaminan-jaminan agar melakukan investasi di Indonesia dan memagari kegiatan para investor agar tetap terkendali dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Selain itu ditetapkan juga kebijakan-kebijakan dalam upaya untuk menarik investor asing, yaitu: i)memperkenankan pengelolaan perusahaan oleh personil asing; ii) menjamin transfer modal dan keuntungan sesuai dengan uang yang dikehendaki; iii) jaminan untuk tidak melakukan tindakan nasionalisasi kecuali dalam keadaan-keadaan khusus dengan kompensasi yang layak, efektif dan segera. selanjutnya dalam rangka mendorong investasi dan untuk melindungi kepentingan nasional serta meningkatkan kesejahteraan rakyat ditetapkan kebijakan untuk mmbatasi kegiatana penanaman modal asing, yaitu:
a.       Membatasi penggunaan tenaga asing, kecuali untuk bidang tertentu yang tidak dimilki oleh tenaga kerja Indonesia.
b.      Keharusan untuk melakukan alih teknologi dan keahlian kepada pihak Indonesia yang dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan.
c.       Adanya kewajiban untuk melakukan divestasi kepada pihak patner lokal atau pihak pemegang saham Indonesia lainnya.
d.      Adanya keharusan untuk bekerjasama dengan patner lokal.
e.       Pembatasan karena adanya bidang-bidang tertutup bagi kegiatan penanaman modal asing.
f.       Pembatasan lain sebagai tercermin dalam prosedur atau tata cara aplikasi penanaman modal.
Kebijakan lainnya dari pemerintah orde baru dalam memanfaatkan penanaman modal asing adalah sebagaimana yang ditetapkan dalam keputusan MPRS Nomor XXIII/MPRS/1966 tentang perubahan kebijakan landasan ekonomi, keuangan dan pembangunan. Dalam pasal 9 ketetapan MPS tersebut menyebutkan bahwa “ pembangunan ekonomi terutama berarti mengolah kekuatan ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil melaluipenanaman modal, penggunaan teknologi, penambahan pengetahuan, peningkatan keterampilan, penambahan kemampuan organisasi dan manajemen”. Dari pasal 9 tersebut memberikan landasan kepada pemerintahan orde baru untuk memanfaatkan penanaman modal khususnya penanaman modal asingagar mampu mengubah potensi sumberdaya ekonomi potensial menjadi ekonomi riil yang dapat langsung dimanfaatkan oleh masyarakat dengan penggunaan teknologi, pengetahuan, keterampilan, kemampuan beroragnisasi dan manajemen yang kesemuanya dimiliki oleh penanam modal asing.[13]
Keterbukaan dan liberalisasi ekonomi oleh pemerintah orde baru telah berhasil melonjakan laju investasi swasta di Indonesia. Sayangnya hal itu tidak dibarengi dengan penetapan restriksi oleh pemerintah agar pertumbuhan ekonomi dapat tetap diimbangi dengan pertumbuhan yang merata diluar lingkaran kekuasaan dan kroni-kroninya.
Kebijakan orde baru pada era pemerintahan Soeharto yang menitikberatkan pada pemulihan ekonomi dan pembangunan terus mendorong dibukanya kran penanaman modal asing. Sejarah Orde Baru selama periode 1966-1997 telah membuktikan betapa pentingnya peran penanaman modal asing sebagai salah satu motor penggerak pembangunan dan salah satu sumber pertumbuhan ekonomi Negara Indonesia.publshd20 Kebijakan ini juga terlihat dari perangkat hukum di bidang penanaman modal pada saat itu. Secara kronologis, undang-undang yang mengatur penanaman modal asing lebih dahulu dibentuk, yaitu Undang-Undang No 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing. Pengaturan penanaman modal dalam negeri menyusul pada tahun berikutnya, yaitu melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.
Emil Salim, pada kuliah program sejarah lisan Indonesia 1965- 1971 di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada Agustus 1999 menyatakan, ada lima kebijakan yang dianggap manjur dalam upaya pemulihan ekonomi kala itu. Pertama, pengendalian inflasi melalui kebijakan anggaran berimbang, dan kebijakan moneter ketat. Kedua, pencukupan kebutuhan pangan. Ketiga, pencukupan kebutuhan sandang. Keempat, rehabilitasi berbagai sarana dan prasarana ekonomi. Kelima, peningkatan ekspor dengan mengembalikan share sepenuhnya pada eksportir. Selain itu, juga digulirkan kebijakan jitu lainnya saat itu yakni deregulasi dan debirokratisasi. Kemudian, pemerintah juga membuka kran penanaman modal asing, secara bertahap. Kebijakan-kebijakan itu sangat berhasil menjinakkan liarnya laju inflasi. Turun drastis dari kisaran angka 650 persen (tahun 1966) menjadi 100 persen (1967), dan 50 persen (1968). Bahkan sudah terkendali di angka 13 persen (1969). Penanaman modal asing diandalkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan kerja pemerintahan Orde Baru. Pertumbuhan ekonomi bergerak dengan cepat rata-rata 6,8 persen per tahun.[14]
Soeharto menganut sistem ekonomi liberal/liberalisasi ekonomi, yang bertolak belakang dengan kebijakan yang ditempuh pada era Soekarno. UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing memberikan kesempatan yang sangat terbuka bagi investor asing sampai pada pembebasan dari pajak negara, penguasaan penuh atas sumber daya alam, dan sumber daya manusia Indonesia. Koorporasi raksasa macam Freeport, Newmont, ExxonMobil, ConocoPhilips, Chevron, British Petrolium, HalliBurton dan sebagainya sangat mendominasisektor-sektor strategis dalam pembangunan ekonomi nasional. Pemerintah juga mulai berhutang pada IGGI, IMF, Worl Bank, dan Paris Club.publishd22
Arah kebijakan pembangunan ekonomi pada era pemerintahan berikutnya juga masih diliputi nuansa liberal dan keberpihakan pada investor asing, namun dalam kemasan baru yang diberi label “neoliberalisme”. Neoliberalisme yang juga dikenal sebagai paham ekonomi neoliberal mengacu pada filosofi ekonomi-politik akhir-abad keduapuluhan, sebenarnya merupakan redefinisi dan kelanjutan dari liberalisme klasik yang dipengaruhi oleh teori perekonomian neoklasik yang mengurangi atau menolak penghambatan oleh pemerintah dalam ekonomi domestik karena akan mengarah pada penciptaan distorsi dan high cost economy yang kemudian akan berujung pada tindakan koruptif. Paham ini memfokuskan pada pasar bebas dan perdagangan bebas, merobohkan hambatan untuk perdagangan internasional dan investasi agar semua negara bisa mendapatkan keuntungan dari meningkatkan standar hidup masyarakat atau rakyat sebuah negara, dan modernisasi melalui peningkatan efisiensi perdagangan dan mengalirnya investasi.[15]


3.  Arah Kebijakan Penanaman Modal Asing pada Masa Reformasi
Keadaan ekonomi Indonesia menjadi sangat terpuruk pada saat Indonesia dilanda krisis pada tahun 1997 yang berakibat luas. Krisis tersebut telah memberikan pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia dan memaksa Indonesia untuk melakukan perubahan di mana ekonomi, politik, sosial, dan hukum mengalami tranformasi dan reformasi menuju kepada suatu sistem baru yang diharapkan akan lebih berkeadilan, andal dan berkelanjutan. Pemulihan ekonomi berjalan sangat lambat sebagai akibat kinerja investasi yang buruk yang disebabkan sejumlah permasalahan yang mengganggu pada tiap tahap penyelenggaraannya. Keadaan tersebut menyebabkan lesunya kegiatan investasi baru yang mempengaruhi daya saing produk Indonesia di pasar dalam negeri maupun luar negeri. Situasi tersebut diperparah dengan belum efesiennya fasilitas perdagangan nasional yang berkaitan dengan aktifitas ekspor impor.
Dalam kurun waktu tahun 1999-2003, investasi berupa pembentukan modal tetap bruto hanya tumbuh rata-rata 1,3% pertahun jauh dibawah tahun 1991-1996 yang tumbuh rata-rata 10,6% pertahun. Dengan lambannya pemulihan investasi peranan investasi berupa pembentkan modal tetap bruto terhadap PBD menurun dari 29,6% pada tahun 1997 menjadi 19,7% pada tahun 2003 dibanding dengan keadan sebelum krisis, secara riil tingkat investasi pada tahun2003 baru mencapai sekitar 69% dari volume investasi pada tahun 1997.[16]
Atas kondisi tersebut terdapat tantangan dan paradigma di bidang investasi yang bersumber dari faktor-faktor yang berpengaruh antara lain:
a.       Terdeapat kecenderungan berkurangnya arus investasi global melalui FDI sejak sebelum tahun 2000. Sementara itu daya ttarik investasi pada beberapa negara asia timur antaralain Vietnam, RRC, Thailand, dan Malaysia pun justru meningkat.
b.      Prosedur perizinan investasi yang panjang juga menjadi suatu kendala dimana untuk memulai usaha diperlukan dua belas prosedur yang harus dilalui yang mebutuhkan waktu 151 hari untuk penyelesaiannya dengan biaya 131%dari perkapita income (US$ 1.163).
c.       Faktor kepastian hukum, dimana lambatnya penyusunan Unndang-Undang Penanaman modal yang baru dan rendahnya penegakan hukum yang berkaitan dengan kinerja pengadilan niaga juga menjadi masalah.
d.      Lemahnya intensif investasi yang bila dibandingkan dengan negara lain, Indonesia sangat tertinggal dengan negara lain dalam hal menyusun intensif investasi termasuk intensif perpajakan dalam menarik penanam modal agar masuk ke Indonesia.
e.       Rendahnya kualitas SDM dan terbatasnya infrastruktur.
f.       Tidak adanya kebijakan yang jelas untuk mendorong pengalihan teknologi dari penanam modal asing.[17]
 Atas dasar hal tersebut dan dalam rangka pemenuhan program pembangunan dibidang investasi, pada tahun 2007 pemerintah mengesahkan Undang-Undang No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang didalamnya sedapat mungkin mengakomodasi kebijakan-kebijakan  investasi yang bertujuan untuk menciptakan iklim investasi yang berdaya saing global.

Untuk mewujudkan iklim investasi yang sehat dalam RJPMN tahun 2004-2009 kebijakan penanaman modal Indonesia di arahkan untuk:
a.       Mengurangi biaya transaksi dan praktik ekonomi biaya tinggi baik untuk tahapan memulai maupun tahapan operasi suatu bisnis.
b.      Menjamin kepastian usaha dan meningkatkan penegakan hukum, terutama berkenaan dengan kepentingan untuk menghormati kontrak usaha, menjaga hak kepemilikan, terutama berkenaan dengan kepemilikan lahan dan pengaturan yang adil pada mekanisme penyelesaian konflik atau perbedaan pendapat.
c.       Memperbaiki kebijakan investasi dengan merumuskan cetak biru (blue print)pengembangan kebijakan investasi kedepan termasuk melakukan revisi terhadam Undang-Undang Penanaman Modal.
d.      Memperbaiki harmonisasi peraturan perundang-undangan antara pusat dan daerah terutama dalam pengembangan (formalisasi) dan operasionalisasi usaha di daerah-daerah dengan mengedepankan prinsip kepastian hukum, deregulasi dan efisiensi dalam biaya dan waktu pengurusan.
e.       Meningkatkan akses dan perluasn pasr ekspor serta penguatan kinerja eksportir.
f.       Di bidang perdagangan dalam negeri, kebijakan diarahkan untuk meningkatkan efesiensi dan efektifitas sistem distribusi nasional, tertib niaga, dan kepastian berusaha.



BAB III
KESIMPULAN

Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 karena didorong oleh cita-cita untuk dapat terlepas dari ketergantungan pada bangsa lain. Agar cita-cita bangsa diatas dapat terwujud perlu adanya sebuah pembangunan secara menyeluruh dalam semua sektor. Kesejahteraan sosial masyarakat sangat dipengaruhi oleh kemampuan ekonomi, untuk meningkatkan pendapatan secara adil dan merata. Guna mempercepat pembangunan ekonomi kearah stabilitas dan pertumbuhan ekonomi diperlukan permodalan terutama permodalan yang berasal dari proyek-proyek produktif dalam bentuk investasi.
Pemerintah dalam Pasal 4 Undang-Undang no 25 Tahun 2007 (UUPM) Pemerintah menetapkan kebijakan dasar penanaman modal untuk:
1.      Mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi penanaman modal untuk penguatan daya saing perekonomian nasional; dan
2.      Mempercepat peningkatan penanaman modal
Sesuai dengan kebijakan dasar yang ditetapkan oleh pemerintah tersebut, pemerintah melakukan perlakuan yang sama kepada penanam modal, menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha dan keamanan berusaha bagi penanam modal sejak pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta membuka kesempatan bagi berkembangnya usaha mikro, menengah, kecil dan koperasi.
Perkembangan penanaman modal asing di Indonesia telah dimulai sejak Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Rancangan Undang-undang penanaman modal asing pertama kali diajukan pada tahun 1952 pada masa kabinet Alisastroamidjojo, tetapi secara resmi undang-undang yang mengatur mengenai penanaman modal asing untuk pertama kalinya disahkan pada tahun 1958 yakni adalah UU Nomor 78 Tahun 1958, akan tetapi karena pelaksanaan Undang-undang ini banyak mengalami hambatan, UU Nomor 78 Tahun 1958 tersebut pada tahun 1960 diperbaharui dengan UU Nomor 15 Tahun 1960 .  Pada perkembangan selanjutnya, karena adanya anggapan bahwa penanaman modal asing merupakan penghisapan kepada rakyat serta menghambat jalannya revolusi Indonesia, maka UU Nomor 15 Tahun1960 ini dicabut dengan UU Nomor 16 Tahun 1965 . Sehingga mulai tahun 1965 sampai dengan tahun 1967 terdapat kekosongan hukum (rechts vacuum) dalam bidang penanaman modal asing. Pada tahun 1967, pemerintah Indonesia mempunyai undang-undang penanaman modal asing dengan diundangkannya UU Nomor 1 Tahun 1967, yang disahkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 10 Januari 1967 dan kemudian mengalami perubahan dan penambahan yang diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 1970 .
Perkembangan terakhir peraturan mengenai penanaman modal asing adalah lahirnya Undang-Undang No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. UUPM lahir dalam rangka pemenuhan program pembangunan dibidang investasi, sehingga didalamnya sedapat mungkin mengakomodasi kebijakan-kebijakan  investasi yang bertujuan untuk menciptakan iklim investasi yang berdaya saing global.




[1] Nurfaqih Irfani, Revitalisasi Hukum Dasar Perekonomian Nasional Dalam Hukum Penanaman Modal Asing Di Indonesia, 2009

[2] Purnawan Basundoro, Nasionalisasi Dengan Jalan Damai Indonesianisasi Usaha Pertambangan Minyak Di Indonesia, 2008.

[3] Indonesia, Undang-undang dasar  1945 (amademen keempat) bagian pembukaan
[4] Ida bagus rahmadi supanca, kerangka hukum dan kebijkan investasi langsung di Indonesia, hal 63
[5] Muchammad Zaidun, Paradigma Baru Kebijakan Hukum Investasi Indonesia (Bagian I), <http://gagasanhukum.wordpress.com/2008/07/21/paradigma-baru-kebijakan-hukum-investasi-indonesia-bagian-i/> [28/09/09].
[6] Dhaniswara K Harjono, Hukum Penanaman Modal, 2007 hlm 40.
[7]Gerakan Banting Stir Ekonomi Soekarno; Haluan Ekonomi Anti-Imperialisme!, <http://papernas.org/berdikari/index.php?option=com_content&task=view&id=42&Itemid=44> [28/02/2010] 
[8] Mohammad Hatta, Beberapa Fasal Ekonomi: Djalan Keekonomi dan Pembangunan, Jilid 1, Jakarta: Balai Pustaka, 1960, hlm 136. 
[9] Aminudin Ilmar, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia, 2004. Hlm 25
[10] Ibid.
[11]Ibid, hlm 28.
[12] [12] Nurfaqih Irfani, Op Cit. Hlm 19.

[13] Aminudin Ilmar, Op Cit. Hlm 34.
[14] [14] Nurfaqih Irfani, Op Cit. Hlm 21.

[15] [15] Nurfaqih Irfani, Op Cit. Hlm 23.

[16] Dhaniswara K Harjono, Op Cit. Hlm 48.
[17] Ibid. Hlm 50.

1 komentar: